Pages

Kamis, 01 Desember 2011 - 2 komentar

Empat Flash Fiction terpilih dalam EVENT FF With KPF bulan November 2011

Ini dia empat Flash Fiction yang termasuk lima besar. selamat ya! Flash fiction ini akan dimasukkan dalam antologi FF with KPF bersama dengan pemenang FF bulan lalu dan bulan berikutnya hingga terkumpul 50 FF. Jadi, FF ini sudah menjadi milik KPF namun hak cipta masih ada dipenulis. ^_^




1. Judul : Dua Lekat Mata
Oleh: Muhammad Sholich Mubarok


Dua lekat mata itu memenuhi segala tak rupa, menyingkirkan yang lain. Ada yang hidup dari sisi tak tentu. Antara masa depan suram, dekatnya kematian. Lalu,membentuk letupan-letupan tak biasa.

Kupikir lebih baik dari sekarang menggariskan larik-larik puisi yang menarik.

Dua lekat mata itu masih memenuhi ruang mataku. Aha! aku menemukan sesuatu yang melenting-lenting indah dan akan ku kabarkan yang empunya cerita.

“Lalu kenapa kau bergumam?,”Tanya sisi lain.

“Ayolah. Kau butuh tindak. Kau pasti lebih canggih dari anjing yang menggigit perih. Kau lebih hebat dari cecunguk kampus yang selalu mengandalkan otak logikanya saja.”

Aku tertegun.

Oh,tidak. Aku tak bisa membiarkan jerit-jerit tak puguh dibiarkan jatuh dan tertimpa kepada hamba yang sampah. Aku harus menguras kantuk, mendahului mereka-mereka yang lengah oleh dunia maya. Tapi, arrgghh…aku tak butuh ‘tapi’ yang terus berapi-api dalam hati. Nyalakan api yang lain tak akan ada salahnya.Enough. 

Dua lekat mata itu memenuhi ruang mataku yang ada kemajuan dengan minusnya.

Namanya Baharuddin. Aku mengenalnya lewat acara mabit yang diadakan oleh remaja masjid tak jauh tempat singgahku. Dia penghafal alquran, mahasiswa yang tinggal di masjid juga penjual habbatussauda. Dia kelam masa lalunya, cerita temanku tadi, yang kini masih disampingku.

Mendadak semangat menulisku bangkit setelah lama lunglai karena kalah selalu dalam persaingan, mencuat dan menusuk hati.

Aku ingin sampai dikosan, menyalakan laptop. Menuliskan segalanya tentang dua lekat mata itu. Namun yang bisa kuperbuat hanya menulis dengan bolpen kecil souvenir pernikahan seorang kawan dan buku tulis.
Aku mengerutkan kening.

Suka pakai jins robek dengkulnya. Rokok dari mulut hampir tak pernah lepas

“He-eh. Nggak percaya kan?.”

Bahkan pernah mencicipi obat setan yang bikin kesesatan.

Menarik! 

“Tak menyangka, kepergiannya begitu cepat.”Lemah nada teman sampingku itu seketika.

Aku terperanjat. Tak percaya. Ruang mulutku pun terlekat.

Nanti kalau saya sudah jadi tokoh besar, tulis biografi saya, Mubarok.

kalimat dua lekat mata itu..kini menutup mata.

________________________________________


2. Judul :Menghafal Luka
Oleh: Tubagus Rangga Efarasti

          Detik jarum jam rasanya terlalu lama bergerak, seperti enggan membantuku untuk melalui semuanya. Tiga jarum jam itu seakan tak menyetujui diriku untuk melewati masa-masa sulit seperti ini. Tak ada satu, dua atau sekelompok nyawa yang membuat hatiku tenteram. Tak ada yang menepuk pundakku saat aku hampir kehilangan kepercayaan. Tak ada yang mengulurkan tangan untuk membuatku berdiri tegap. Tak ada yang mengusap air mataku. Tidak seperti dulu, saat ia masih bersamaku. Tersenyum di sampingku dan mencandaiku hingga aku pun lupa bahwa aku memiliki air mata. Semua yang dulu terasa hangat, tapi kini? Semuanya hilang setelah sosok tegapnya meninggalkanku.

          Aku rindu mata itu, beningnya yang meneduhkan. Entah di mana sekarang dirinya berada. Dulu pun rasanya hanya sebentar saja, terlalu sebentar bahkan. Separuh bayangannya bahkan nyaris hilang tergerus lipatan kalender yang terus berubah.

          Hanya kepada Tuhanlah kini aku berserah, semuanya kutumpahkan di atas sajadah. Sekian kalinya kusebut nama-Mu, tanpa bosan. Kuagungkan segala apapun rencana-Mu, kumuliakan takdir-Mu serta kuindahkan asma-Mu. Hingga pada detik ini air mataku sudah mengkristal, menggumpal serupa pasir yang jatuh bergantian telusuri di pipiku.

          Kanker rahim telah menjadi momok paling mengerikan yang terdengar di gendang telingaku. Seakan menjadi iblis yang meranggasi akal sehatku, meniduri setiap impian kami dari awal mengarungi bahtera rumah tangga. Kini semuanya telah berubah, seperti juga cintanya padaku.

          Aku merasa sudah tak berharga lagi, hati ini benar-benar remuk redam. Padahal dulu tidak hanya sebatas raganya saja yang menjagaku, tapi juga sikapnya yang lembut. Tetapi kini semua telah berubah. Malam itu, sebelum dia pergi yang kuingat hanya ucapan kasarnya yang terlontar. Matanya yang bening menjadi nyalang.

          Sikapnya kini sudah bertolak belakang dari apa yang kukenal dulu. Setelah dia mengetahui penyakit yang bertengger di dalam tubuhku. Penyakit yang membuat malamku semakin kelam. Sejak aku divonis stadium akhir kanker rahim dan tidak bisa memberikannya buah hati.

          Lelaki itu pergi tanpa pesan...


_______________________________________


3. Judul: KAYUHAN IKHLAS
   Oleh 'Reny Nur Aini

     Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Matahari yang terik menambah sengal di nafasnya. Kayuhannya melambat menandakan tenaganya sudah berkurang untuk mengayuh lebih lama lagi. Kalau saja hari itu Abah Udin sudah mengantongi uang untuk sekedar membeli seporsi nasi bungkus saja bekal buka puasa bersama istrinya, ia tidak akan menerima permintaan seorang laki-laki di pasar induk dengan ongkos 30 ribu rupiah untuk jarak 18 KM. Bukanlah jarak yang jauh untuk ditempuh dengan kayuhan becanya bila itu dilakukan 30 tahun yang lalu. Sekarang usianya sudah uzur, 60 tahun.

     Setelah 1 jam mengayuh akhirnya sampai juga Abah Udin dan penumpangnya di tujuan.

     “Alhamdulillah.” Syukurnya pada Tuhan.

     “Mang, ini ongkosnya,” Kata laki-laki penumpang beca itu sambil menyodorkan uang 1 lembar lima puluh ribuan.

     “Saya tukarkan dulu ya.” Lanjutnya.

     Abah Udin mengiyakan sambil menuntun becanya ke tempat yang lebih teduh. Ia melihat punggung penumpang yang akan memberinya rejeki itu sambil berdo’a pada Tuhan, memohon agar penumpangnya tadi diberi keselamatan dan keberkahan.

     10 menit berlalu, penumpangnya tadi belum datang memberikan ongkosnya.
     25 menit pun turut berlalu tanpa batang hidung penumpang tadi.
     Di menit ke-50 barulah Abah Udin menyadari bahwa Rp. 30.000,-nya tidak mungkin ia terima dari penumpangnya tadi.
     Dan Abah Udin tidak mengganti do'a untuk penumpangnya tadi.
___________________________________________

4. Judul: Somad, Abah dan Romlah
Oleh: Erma Rostiana D.

Siang itu Somad sedang istirahat di saung dekat sawah Abahnya. Sudah lima jam Somad mencangkul sawah Abahnya itu. Tiba-tiba dia melihat Romlah berjalan melewatinya. Romlah adalah bunga desa yang ditaksir Somad.

“Ke kebun binatang lihat jerapah, Setelah itu lihat burung gelatik, duhai pujaanku Eneng Romlah, hari ini kamu sangat cantik.” Seperti biasa Somad merayu Romlah dengan pantun mautnya.

“Siang-siang makan sekoteng, rasanya kok kayak sambal, duhai Aa Somad yang agak ganteng, hari gini masih ngegombal?” Romlah membalas pantun Somad.

Somad tersenyum. Dia segera berpantun kembali, “beli ikan harganya mahal, ikannya dimakan itik, Aa gak lagi ngegombal, Neng Romlah emang cantik. ”

Romlah hanya tersipu malu.

“Pagi-pagi kuterus mandi, sabunnya made in China, siang-siang gini kok sendiri? Emang Neng Romlah mau kemana?” Tanya Somad.

“Malam Minggu ke alun-alun, pulangnya beli kelapa, saya mau pergi ke kebun, nganter makanan untuk Bapak,” jawab Romlah sambil memperlihatkan rantang yang sedang dipegangnya.

“Baju batik disimpan di lemari, dipakai jika mau gaya, gadis cantik gak baik jalan sendiri, Aa anter mau, ya?” tawar Somad.

“Makan malam sama tahu, tambah lagi sayur lodeh, jika itu yang Aa mau, tentu saja boleh.” Romlah tersenyum manis kepada Somad.

Somad pun bersiap untuk mengantar Romlah. Namun, baru saja dia maju satu langkah, tiba-tiba…

Pletak!

Abah melempar Somad dengan sandal jepit sambil berteriak, “Woy, Somad! Ada ayam jenisnya kate, ayamnya dibeli si Agnes, Lu jangan dulu pedekate, nih kerjaan belum beres!”

"Kepala dilempar sandal jepit, sandal jepitnya cuma sebelah, maapin Aa Brad Pitt, gak bisa nganter Neng Romlah." Somad meminta maaf. Romlah mengangguk lalu pergi ke arah kebun.

"Heh, Somad, jangan bengong aja. Cepetan kerja! Ke pasar malam naik komidi puter, Neng Romlah biar abah yang anter," ujar Abah sambil menyusul Romlah.

Somad hanya melongo.

2 komentar:

Penulis 1 Desember 2011 pukul 17.36

Alhamdulillah... syukron katsiron ya, akhirnya FF aku terhimpun... Terimakasih... Semoga damai bersama, amin... *^_^*

Ipung Arraffa 6 Desember 2011 pukul 05.31

selamat teman-teman

Posting Komentar